Untukmu, Papa

/
5 Comments
Medan, 15 Juni 2014

Menurutku, bahagia itu sederhana. Cukup sederhana bahkan.

Cukup untuk mengetahui bahwa ada orang yang selalu ada untuk kita, melindungi kita, dan juga menjaga kita. Cukup untuk merasa kuat untuk menghadapi dunia. Dan cukup untuk tahu, bahwa orang tersebut adalah papa.

Sejenak mengulang kisah, cukup kisah kecil sederhana, namun cukup besar untuk membawa sebuah senyuman ikhlas yang lebar.

Aku ingat, orang pertama yang berdiri paling depan, hanya untuk menghalau ku dari segala bahaya yang mendekat. Aku ingat, orang yang bersorak paling keras, bertepuk tangan paling kuat, ketika melihat topi wisuda itu dimiringkan di atas kepalaku. Dan juga aku ingat, orang pertama yang menyembunyikan tangisnya, ketika ia melihatku pergi menuju perantauan, tempat dimana dunia kejam ini menanti untuk menghabisiku dengan segala tipu muslihatnya.

Sama seperti ketika aku masih kecil, ketika yang aku tahu hanyalah tawa dan canda riang. Saat itu, aku berkenalan dengan rasa sakit pertamaku. Aku menangis. Aku menangis karena paku yang tertancap di kakiku, ketika aku sedang bermain. Aku menangis dan terus menangis. Dan pada akhirnya aku tahu, bahwa aku menangis bukan karena rasa sakit itu. Namun, karena aku melihat wajahmu yang menyembunyikan tangis, menghapus pilu, sambil menggotongku dengan kedua tanganmu ke rumah sakit, dan terus berkata : “tenang nak, ada papa disini”.

Dan juga beserta semua kenangan lain, yang akan kubiarkan tersimpan utuh dalam kenanganku.

Aku ingin belajar darimu, bagaimana cara menyembunyikan suatu luka. Karena yang aku tahu, papa selalu tersenyum, bahkan dengan guratan luka hidup di punggungmu.

Aku ingin belajar darimu, bagaimana cara untuk tetap kuat. Karena yang aku tahu, papa selalu menjadi satu tonggak kokoh, yang sangat kuat untuk mempertahankan kehidupan kita.

Aku selalu belajar dan terus belajar. Namun sampai sekarang aku masih tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan besar yang menggantung di pikiranku selama ini. Dan satu pertanyaan itu adalah:

“Dimanakah perbedaan antara guru, pahlawan, panutan, dan papa?”

Anakmu,



Muhammad Ragil Puputan


You may also like

5 comments:

  1. Setiap anak berbeda bapak, berbeda pula cara mencintainya, kalo aku pribadi mencintai ayahku dengan cara tidak ingin menjadi seperti ayahku hehehhe

    keren suratnya ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks komburnya bang hahahaha slamat ya menang bukunya !

      Delete
  2. Pak yoga ini komennya sama semua cuma ekornya aja yg dibedain haha
    Kalau aku ditanya cara sederhanaku adalah memperhatikan sifat kekanak kanakannya, dan menyisihkan waktu 2 jam tiap hari buat ngobrol ringan

    ReplyDelete
  3. Prinsip kalo anak perempuan pasti akan deket sama bapaknya kayaknya gak berlaku juga untuk aku..Tapi sesdh berumahtangga, aku baru tau apa yg dipikirin papaku. Walo kami jarang ngobrol & cuma ketemu seminggu sekali, tapi dr gerak geriknya aku tau papa menyayangi kami. Mengajaknya jalan2 sesekali & bawain makanan kesukaannya jadi cara mendekatkan hub kami...

    ReplyDelete

Most Trending

Powered by Blogger.