Hari ini aku memulai untuk menulis kembali.
Bukan untuk alasan bosan atau tidak punya kerjaan lain, namun aku merasa menjauh dari apa yang seluruh dunia menyebutnya sebagai semesta.
Tidak bisa dipungkiri, perasaanku sekarang kosong, sekosong botol minuman yang sudah ditenggak habis dikarenakan rasa haus yang ingin dipenuhi.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan kali ini. Pekerjaan stabil, keluarga yang damai, sahabat yang seru. Namun bukan manusia namanya bila tidak ingin lebih, kan?
Sekarang aku berada di Samosir, Sumatera Utara. Sekedar ingin melunasi hutang bernafas dan merelaksasi diri, aku mengambil waktu kosong dari kantor untuk pergi, berusaha menemukan apa yang mungkin saja kucari selama ini.
Perasaanku berkecamuk. Rasa cinta yang hampa. Aku ingin mencintai kembali. Aku ingin mengasihi kembali. Namun bila kamu benar benar mengenalku, kamu pasti mengerti.
Bukannya gampang untuk hidup mencoba menganggap semuanya serba tercukupi. Kebahagiaan emosional satu ini benar-benar membuatku merasa tidak bersyukur barang satu senti pun.
Bukan satu dua kali aku mencari dan tiga empat kali aku ditolak. Ketika menemukan, aku mencoba menjalani. Rasanya tetap sama. Hanya sepersekian jam yang aku benar-benar merasa kasih. Selebihnya? Bosan. Dengan hal seperti inilah aku berfikir, bagaimana bisa sesuatu berwujud pernikahan berlangsung hingga mati.
Kucoba membuka pemikiranku kepada penduduk lokal, hitung-hitung membayar rasa lapar dengan bercengkrama. Aku tidak tahu apakah mereka bisa membaca garis hidup, atau mereka sudah sering mendapat pertanyaan yang sama.
Jawaban mereka pasti. “Abang cuma belum dapat orang yang pas saja. Klop kayak colokan dan lobang listrik.”
Mereka bahkan bertanya tentang apakah aku pernah mengalami “cinta ga jadi.” Suatu kiasan yang membuatku tersenyum lebar sekaligus mengiris hati.
Dalam hati aku menjawab, “ya benar.” Aku selalu jatuh cinta pada orang yang berada jauh diluar genggamanku. Terlepas akal sehat maupun rasa amannya, aku dipagari. Selalu ada yang bisa menjauhkan kami.
Bukankah sudah jelas bahwa seluruh hasil jerih payahku kutujukan untuknya? Bukankah sudah jelas bahwa hal yang sangat ingin kulakukan adalah membuatnya bahagia? Bukankah sudah jelas bahwa hal terakhir yang ingin kulakukan adalah melihatnya bersedih? Bukankah sudah jelas bahwa aku mencintaimu, wahai sahabatku?
Pada akhirnya, dengan luka yang sedikit membaik dan rasa lapar terobati dengan milkshake coklat, kehampaan ini tetap ada dan tetap tidak terjawab.
Medan, 02 Juni 2018. 16.02.
Di sudut cafe kecil sederhana di tepi Danau Toba.